Selasa, 02 Juni 2015

Sejuta Pesona Jogja

Minggu, 31 Mei 2015. Adalah salah satu Minggu baru nggak bakalan gue lupakan. Seperti yang gue tulis sebelumnya, gue bakalan cerita sehari di Jogja kemarin. Sebenernya gue ke Jogja karena acara sekolah, mungkin ini sebagai hadiah refreshing karena udah mati-matian belajar. Oke, gue mulai ceritanya...




PERHATIAN : Sebelum cerita gue mulai, gue mau ngasih info kalo postingan ini terdapat banyak foto-foto pamer, walaupun kebanyakan nggak bagus. Dan perlu diingat, gue nggak ngedit satupun foto disini.



Sabtu Malam, sebelum paginya berangkat gue udah siap-siap. Gue sempat dibingungkan buat bawa apa, gue bingung bawa baju ganti yang mana, gue bingung bawa peralatan mandi atau nggak. Dan akhirnya gue bawa, keputusan yang sia-sia karena nantinya gue cuma ganti baju, dan cuci muka. Nggak mandi sama sekali. Satu-satunya barang yang udah pasti gue bawa adalah si Cam dan tripodnya. 



Minggu Pagi, gue bangun pagi-pagi, kali ini karena sengaja udah masang alarm. Dengan masih mengantuk, gue membangunkan satu-satunya orang di keluarga gue yang bisa naik motor dengan kecepatan 100km/jam tanpa takut jatuh. Ayah. Gue minta diantar. Setelah mandi, sarapan, dan siap-siap gue berangkat dari rumah jam 6.10, secara teknis gue udah terlambat karena pengumuman sebelumnya ngewajibin gue sampai di sekolah pukul 6.00. Tapi kenyataanya, bis baru berangkat setelah menunggu yang belum datang dan briefing yang seolah nggak penting. Jam 7.30!



Pejalanan Berangkat
Di dalam bis, gue duduk di bagian kanan baris ke-empat. Gue duduk bersama salah satu personil band yang sudah terkenal (paling nggak di kalangan SMP N 30). Budi, nama asli (bukan samaran). Bis belum lama berjalan, dan tour guide udah mulai bicara. Setelah perkenalan dengan tour guide, driver, dan co-driver, lagu dangdut pun di play. Lagu yang bikin gue nggak bisa tidur selama perjalanan berangkat ini.


Outbond
Setelah kurang lebih 4 jam perjalanan dan di"jejali" dengan lagu-lagu dangdut, akhirnya gue dan rombongan sampai di tanah-rumput-luas yang nantinya bakalan kita buat outbond. Outbond pun dimulai, rombongan di arahkan untuk membuat lingkaran besar, sangat besar malahan. Sebelum game-game dimulai, seperti biasa, kita di"ajak" untuk senam otak. Tujuannya simpel, untuk mengembalikan kesadaran-kesadaran kita yang udah mabuk atau tertidur. Setelah senam otak yang bahkan gue nggak perlu karena gue nggak tidur dan nggak mabuk juga, rombongan diarahkan untuk membuat kelompok dengan anggota 15 orang. Dan sialnya, gue ditunjuk (baca : dipaksa) untuk jadi ketuanya. Singkat cerita, setelah game-game yang membuat seluruh badan keringetan ini selesai, rombongan kembali ke bis untuk ngelanjutin perjalanan untuk ishoma.

Balik ke bis!

ini pemandangan yang ada di sebelah kiri tanah-rumput-luas tadi


Perjalanan ke Restoran Untuk Makan Siang
Di bis, gue langsung melemparkan tubuh gue ke kursi, menyalakan AC dan mencoba bersantai. Gue tanya ke tour guide bis 3, Om Han. "Kira-kira berapa jam sampai ke rumah makan, om?" "Palingan 30 menit, dek." Oke, gue nggak jadi tidur. Akhirnya gue cerita-cerita dan ketawa-ketawa sama Budi. Lagu dangdut kembali diputar, ibu-bapak guru yang ada di depan udah siap-siap buat karaoke-an. Perjalanan kembali dimulai.


Sholat dan Makan Siang
Sesampainya di rumah makan, gue dan Budi langsung menuju ke arah Mushola. Udah disepakati sebelumnya di bis kalo gue dan Budi akan sholat duluan. Dan sialnya (lagi), gue ditunjuk (dipaksa!) untuk jadi imam. Jujur aja gue grogi dan bukan imam yang baik. Setelah sholat, gue, Budi, dan George (nama asli) menuju tempat makan. Strategi gue dan Budi untuk sholat terlebih dahulu berhasil, meja makan udah agak sepi dan kita leluasa mengambil makan. Gue nggak mengambil satu fotopun saat sesi makan, keputusan yang udah gue tetapkan dari kemarin malam. Setelah selesai makan, kita kembali ke bis untuk melanjutkan perjalanan. Gue dan Budi ke bis 3 dan George ke bis lain (karena nggak tau bis berapa). Tujuan kita selanjutnya, Malioboro.


Perjalanan ke Malioboro.
Kembali ke bis, lagu kembali akan di play, kali ini bukan dangdut tapi lagu lawas dari tahun 70-an. Setelah 3 lagu diputar, beberapa suara dari belakang protes, "Bu, ganti dangdut aja!" Entah karena mereka suka dangdut atau nggak mudeng lagu lawas tahun 70-an. Gue menimpali, "Iya bu! dangdut aja, yang ini nggak mudeng!". Ibu-bapak guru yang lagi asik karaoke-an sedikit terusik, tapi mereka tetap cuek, lagu lawas tetap dilanjutkan. Ini berarti telinga gue dipaksa mendengarkan lagu yang artinya aja nggak gue ngerti selama beberapa jam kedepan. Ini sih, mau tidur juga nggak bakalan bisa!

Karaoke-an aja terus bu..


Malioboro

Di Malioboro ini, gue membuat sebuah kelompok kecil beranggotakan 5 orang. Mereka adalah gue, Budi, George, Damar, dan Rizal.
Damar, Budi, George, Rizal, Gue.
Kelompok kecil gue memutuskan untuk jalan dulu sepanjang jalan Malioboro. Ternyata di Malioboro sedang digelar acara Jambore Pencak 2015 (hasil tanya sama mas-mas), Jadi ada sekitar 7.000 pesilat dari daerah-daerah di Indonesia (dari mas-mas yang gue tanyain, makasih mas.). Nggak cuman itu, yang bikin gue kagum adalah ada bule yang dengan lihainya memperagakan 1-2 jurus silat! Bayangin aja, bule-bule yang lahir di belahan benua lain sampai mau belajar budaya kita. Gue kagum sekaligus malu.



Setelah puas liat festival, gue dan kelompok memutuskan untuk masuk. Di sepanjang jalan ini gue sibuk cari momen-momen yang pas buat di foto, dan gue hampir ditinggal sendirian. Gue panik, celingukan nggak tau harus ngapain. Akhirnya gue cari mereka, mondar-mandir, dan kampretnya mereka ternyata cuman masuk ke toko depan posisi awal gue panik.


Di Malioboro, gue cuma beli kaos untuk adik yang belakangan gue tau kalo kekecilan. Yah, gue memang bukan kakak yang baik. Setelah puas bebelanja dan mengambil foto, gue dan kelompok kecil gue kembali ke bis (sebenernya karena waktunya udah mepet aja). Gue, Budi, dan Rizal ke bis 3 sedangkan Damar dan George ke bis lain (nggak tau bis berapa). Perjalanan ke Sendratari Ramayana pun dimulai.


Mampir Makan Malam
Dari Malioboro rombongan mampir ke rumah makan untuk makan malam. Lagi-lagi gue yang sok akrab sama guide tour tanya, "Om, sekalian sholat Maghrib nggak?" "Nggak usah, nanti aja disana." Gue yang sebenernya masih bingung "disana" itu mana cuman manggut-manggut nggak jelas. Seperti yang gue bilang sebelumnya, waktu makan adalah waktu temen-temen gue terbebas dari ancaman kamera. Setelah makan, gue memutuskan untuk mencuci muka gue yang udah berminyak dan bau keringat, karena gue nggak diperbolehkan mandi.


Perjalanan ke Sendratari Ramayana
Perjalanan kembali di mulai. Gue udah panik duluan, apakah musik lawas tahun 70-an akan di play lagi? Ternyata nggak, mungkin ibu-bapak guru ngerasa kasian kalo telinga kita di"jejali" lagu-lagu yang sangat-sangat-sangat puitis itu, atau mungkin karena mereka udah capek karaoke-an. Dangdut pun kembali diputar, dari arah belakang bis terdengar suara siulan keras, persis kayak orang yang lagi saweran. Bis pun ramai, dan lagi-lagi gue nggak bisa tidur.


Mampir (lagi) ke Pusat Oleh-oleh
Gue bingung. Loh, kok ke pusat oleh-oleh lagi? Bukannya udah tadi di Malioboro? Tanya gue dalam hati. Bagai punya kekuatan supernatural, Om Han udah menjelaskan terlebih dulu, "Kita mampir dulu, buat yang tadi belum sempet beli oleh-oleh, sama yang mau sholat." Oooh, jadi ini arti kata "disana" itu. Gue dan Budi pun sepakat untuk sholat terlebih dahulu. Kali ini nggak karena strategi apa-apa, tapi karena pemandangan yang kita lihat membuat kita malas untuk masuk ke toko.
Lautan manusia.
Setelah sholat, gue memutuskan untuk mencoba eksperimen bareng si Cam dan tripodnya. Light Trails. Sedangkan Budi memutuskan untuk beli oleh-oleh dan kembali ke bis.
Light Trails gadungan.
Saat gue sedang asik-asiknya bereksperimen, datanglah temen-temen gue yang kepo dan nanyain gue lagi ngapain. Setelah gue liatin foto diatas mereka minta untuk difoto dengan cara yang sama. Oke, itung-itung talent gratisan.
Talent : Lambang Galih A.
Talent : Bivansyah Wiranata
Setelah puas ngambil light trails, gue lagi-lagi hampir ditinggal sama rombongan. Dengan setengah berlari gue menuju ke bis. Gue teriak (dalam hati), "Tungguuu, jangan tinggal gueee!!". Si supir menghentikan bisnya, entah karena denger teriakan (dalam hati) gue atau emang kasian. Jalan lageee!


Sendratari Ramayana Prambanan
Sesampainya di Prambanan, rombongan langsung diarahkan untuk masuk. Rombongan SMP 30 duduk di bagian F sebelah kiri. Dalam hati, kalo gue nanti kesini lagi gue akan memilih duduk di bagian A. VIP.

Akhirnya detik-detik acara puncak tour ini akan dimulai. Gue udah ready sama si Cam dan tripodnya. Pertunjukan pun dimulai, pertunjukan yang bikin penontonnya mikir keras, pertunjukan yang nantinya memicu pertengkaran-pertengkaran kecil antara gue, Budi, dan Luqman. Sendratari Ramayana Episode 3 : Gugurnya Kumbakarna.

Gue bakalan cerita dari sudut pandang gue dan hasil diskusi ngeyel-ngeyelan sama Budi dan Luqman.


PERINGATAN KEMBALI : Cerita ini menggunakan banyak foto yang kebanyakan blur dan full noise karena over ISO. Jadi, buat kalian yang nggak biasa liat foto jelek jangan lanjutkan.

Pentas dibuka dengan nyanyian sinden dan tarian-tarian pasukan manusia Rama. Saat ini, gue lagi sibuk nge-setting si Cam dan tripodnya, jadi belum terlalu fokus dengan cerita. Lalu pasukan Rama dan penari-penari yang dilambangkan sebagai air masuk. Disini, ceritanya pasukan Rama ingin menyebrang untuk sampai ke Alengka, kerajaan Rahwana. Cara pertama yang Rama lakukan adalah dengan menembakkan panahnya untuk menguras lautan. Tapi dengan cara ini Rama malah kena marah dari Dewa Laut, lalu Rama mengembalikkan air dengan cara yang sama, menembakkan panah.
Mbak-mbaknya yang pake selendang dilambangkan sebagai air.
Karena cara menguras laut nggak berhasil, Rama memikirkan cara lainnya. Hingga akhirnya dia menyuruh pasukan keranya membangun jembatan dari batu. Tarian-tarian dari kera ini sangat luwes, gue sampai ngomong, "Ck ck ck ck, kera aja bisa nari, kok gue enggak ya..?" Pasukan kera bahu-membahu untuk membangun jembatan batu. Sampai jembatan selesai dan mereka dapat menyebrang.


gerakan khas pasukan kera. Loncat sana loncat sini. Keren. 
Cerita dilanjutkan dengan cerita di kerajaan Alengka. Utusan Rama yang bernama Anggada datang ke hadapan Rahwana untuk berdiskusi, tapi niat itu di batalkan karena Rahwana yang ingin membunuh Anggada. Tapi ketika Rahwana ingin menghunuskan kerisnya, dia dicegah oleh adiknya sendiri, Kumbakarna. Atas perbuatannya ini, Kumbakarna diusir oleh Rahwana.

Rahwana
Menghunus keris
Kumbakarna
Karena sambutan yang nggak baik dari Rahwana kepada Anggada, terjadilah perang besar antara Alengka dan pasukan kera. Pertarungan berlangsung sengit, awalnya seimbang, lalu dilanjutkan dengan lumpuhnya pasukan kera gara-gara panah dari Indrajit yang mengeluarkan ular-ular cantik.
Pasukan kera Rama.


Ular-ular cantik yang dikeluarkan Indrajit.
Pasukan Rama nggak menyerah begitu aja. Dari pasukan Rama muncul Wibisana yang membalas panah ular Indrajit tadi dengan panah yang mengeluarkan elang atau garuda (kata guru sejarah gue). Para elang atau garuda itu datang untuk memakan ular-ular cantik. Gue sempet nyeletuk, "Ularnya cantik banget, kalo gue digigit juga gak papa deh." yang dibales tatapan sinis dari orang yang duduk di sebelah gue, Budi.
Elang-elang Wibisana.
Setelah pasukan Rama sadar dari kelumpuhan mereka akibat ular (ribet amat!). Adegan dilanjutkan ke pertarungan Indrajit vs Laksamana. Pertarungan begitu sengit dan menegangkan. Musik dari gamelan dan sorotan lampu yang sesuai menambah keseruan dan kekeranan.

Laksamana
Indrajit


Dilanjutkan dengan adegan Kumbakarna vs Sugriwa. Pertarungan digambarkan Kumbakarna memakai gada dan Sugriwa dengan tangan kosong. Sama seperti sebelumnya, pertarungan berlangsung seru dengan sedikit tambahan komedi ala wayang. Sugriwa terdesak dan hampir kalah, akhirnya dia mundur dari pertarungan dengan Kumbakarna.




Setelah Sugriwa mundur dari pertarungan dengan Kumbakarna, pasukan kera muncul dan menyerang Kumbakarna. Karena terlalu kuat, Kumbakarna tidak dapat dikalahkan oleh pasukan kera. Saat itulah Laksamana datang membantu, dengan busur pemberian Rama dia bertarung dengan Kumbakarna.

Pasukan kera yang mental gara-gara Kumbakarna



Setelah berhasil melumpuhkan tangan dan kaki Kumbakarna, Laksamana mengembalikan busur kepada Rama dan mempersilahkan Rama untuk membunuh Kumbakarna. Dengan satu anak panah, Rama menarik tali busur dan melepaskannya. Creb! panah itu menusuk tepat di jantung Kumbakarna. Kumbakarna akhirnya mati dan arwahnya dijemput oleh bidadari-bidadari.



Gue sempet nyeletuk lagi, "Kumbakarna yang jahat aja dijemput sama bidadari yang cantik, masa gue nggak..." Bedanya, kali ini nggak ada yang menanggapi gue. Mereka terhipnotis dengan penampilan yang Maha Luar Biasa ini.

Setelah pentas selesai, seperti yang udah gue duga sebelumnya, para penonton di persilahkan naik ke atas stage. Gue mengangkat tripod beserta si Cam dan langsung lari ngibrit ke arah panggung. Luqman mengikuti dari belakang. Diatas panggung, baru gue penonton yang ada, dengan rasa deg-degan gue dengan gaya sok  wartawan mengambil foto bareng.

Rama nya udah tua ternyata, gue panggil om aja deh...

Budi dan Kumbakarna

Gue dan Kumbakarna

Setelah puas foto bareng, rombongan kembali ke bis. Masih dengan perasaan takjub, gembira, dan nggak percaya gue kembali mendudukkan pantat ke kursi. Bersiap untuk kembali, ke Semarang.


Perjalanan Pulang
Bis berangkat menuju Semarang pukul 21.30. Lampu diredupkan, lagu-lagu udah nggak di play lagi seperti tadi. Gue yang emang udah capek mencoba untuk tidur. Tapi, kenyataannya gue susah untuk tidur dan memutuskan untuk menikmati perjalanan. Gue baru bisa tidur jam 23.20 setelah menutup kepala gue dengan jaket. Nggak lama setelah itu, gue dibangunkan oleh suara kresek-kresek berisik dari arah depan. Davi. Gue liat dia lagi foto-fotoin orang yang lagi tidur, gue bangun disaat yang tepat. Gue liat si Io, jam 23.40. Kampret, gue tidur 20 menit doang. Yah, setelah itu gue nggak bisa melanjutkan tidur karena gue takut kena jepret dan emang udah nggak ngantuk lagi.

Sesampainya di rumah, gue langsung mandi (gue jadi tau rasanya mandi jam 1 lewat) karena badan lengket semua rasanya. Setelah ganti baju gue melompat ke kasur untuk mengistirahatkan kaki gue. Masih kebayang adegan-adegan pentas tadi, masih kebayang wajahnya Om Rama sama Om Kumbakarna, masih kebayang bule yang sangat lihai dengan jurus silatnya, masih kebayang bau kain sablon kaos-kaos Malioboro. Dan gue nggak akan pernah lupa momen canggung gue waktu outbond (gak usah diceritain!).

Pokoknya seharian ini nggak bakalan gue lupakan. Seharian yang ngebuat kaki-kaki gue kaku setelahnya, seharain yang seru sama temen-temen, dan ditutup dengan acara puncak yang, Maha Super Keren. Gue gak bakal Lupa!

3 komentar:

  1. Lesmana kan bukan Laksamana ??

    #ini bukan komen absurd-_-

    BalasHapus
    Balasan
    1. #tapi pertanyaan absurd?wkwkwk

      Gini,
      Jadi di dalam perwayang banyaaaaaak banget pengucapan-pengucapan nama yang beda. Kayak Rahwana juga bisa disebut Dasamuka, Rama bisa disebut Ramacandra, Sinta bisa disebut Sita. Nah, untuk kasus Laksamana-Lesmana ini gue cuman ngikutin apa yang tertulis di proyektor waktu pentas.

      Gitu, Zima-chan!

      Hapus
    2. Ya sebenernya saya sudah berpikir seperti itu,tetapi saya ragu. Makanya saya bertanya kepada anda untuk memastikan saja.

      Terimakasih.

      Hapus